Resensi Buku + Tulisan Pemikiran Pribadi

Judul :Masyarakat Adat & Kedaulatan Pangan
Penulis :Ahmad Arif
Penerbit :KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Tahun Terbit :Cetakan Ketiga, September 2023
Tebal Halaman :xvi+ 308 halaman
Ukuran Buku :14 x 21 cm
ISBN :978-602-481-480-9
Harga Buku :127.500 (Pembelian melalui e commerce shopee pada toko: momo_ku_mom0

“Orang Indonesia belum makan kalau belum makan nasi“. Dulu kupikir itu hanya guyonan, tapi sekarang bagiku itu tak lebih dari sebuah penghinaan bagi negeri yang sangat kaya dengan biodiversitas, bahkan terkaya di dunia-setelah Brazil. Beras selalu menjadi obsesi di negeri yang alamnya memiliki 77 jenis karbohidrat, 75 jenis sumber lemak, 26 jenis kacang-kacangan, 389 jenis buah-buahan, 228 jenis sayuran, 40 jenis bahan minuman, 110 jenis rempah dan bumbu. 

Saya yakin ibu kita sama-sama suka berceloteh “Dulu makanan ibu itu ubi rebus, pisang, singkong, sukun” dan hmm apalagi ya? Sayangnya bukti itu tak bisa dicari di kota, namun jejak jalan pangan orang dulu masih bisa ditelusur ke pedalaman. Masyarakat adat, merekalah yang masih menjaga warisan pangan nenek moyang kita.

Kita memang tidak peduli dengan asalmuasal masyarakat adat, yang kita pikir bahwa mereka hanya masyarakat yang tidak mau ikut ‘modern’ seperti orang kota. Beruntung di buku ini Ahmad Arif tidak langsung meloncat pada bahasan hubungan pangan dengan masyarakat adat. Dengan runut, Ahmad Arif menjelaskan sejarah panjang masyarakat adat di tanah nusantara yang terjadi selama berpuluh-puluh ribu tahun lalu. Ini dimulai dari teori evolusi manusia modern, Homo Sapiens. 


Penting : Teori evolusi manusia modern yang digagas oleh Charles Darwin menyebutkan bahwa secara asal usul, manusia memiliki kekerabatan dengan kera. Saya dengan tegas mengatakan saya menolak teori ini. Dari awal, manusia sudah diciptakan dengan sempurna. Bahkan Allah menciptakan Adam dengan tanganNya sendiri. Mungkinkah ada cacat dalam ciptaan Allah? Maha Suci Allah, Dia lah sebaik-baik Pencipta. Bahkan penciptaan langit dan bumi lebih dahsyat dari penciptaan manusia.

Manusia adalah satu-satunya makhluk kasat mata yang diberi akal oleh Allah, dan kera jelas lebih hina dari manusia. Rela kah kita disebut keturunan monyet? Saya rasa Mas Darwin pun akan marah jika dipanggil si anak monyet. Saya mengutip salah satu jawaban dari Dr Khalid Basalamah ketika ditanya mengenai teori evolusi Darwin, beliau menjawab bahwa teori ini hanyalah untuk menolak keberadaan Tuhan. 

Nenek moyang bangsa manusia adalah Nabi Adam ‘alaihissalam, dan istrinya Hawwa. Setelah Adam wafat risalah kenabian diteruskan oleh Nabi-nabi yang Allah utus sesudahnya, hingga kurang lebih 1000 tahun kemudian diutuslah Nabi Nuh ‘alaihissalaam. Nabi Nuh ‘alaihissalaam mendakwahi kaumnya dalam kurun waktu 950 tahun, namun pembangkangan kaumnya atas ajakan mengEsa kan Allah mengundang turunnya azab Allah. Akhirnya seluruh bumi tenggelam kecuali Nabi Nuh ‘alaihissalaam dan yang naik ke atas kapal. Dengan demikian, nenek moyang kedua manusia adalah manusia yang selamat di kapal Nabi Nuh ‘alaihissalaam. 

Saya menghargai penulis yang menyertakan teori ini untuk keperluan penulisan ilmiah. Namun demikian, ilmu pengetahuan selalu berkembang dan  bisa ditolak. Penemuan fossil juga belum bisa memastikan apakah itu memang manusia, atau sebenarnya fossil kera? Segala perkataan manusia boleh kita tolak dan boleh kita terima, yang jelas yang tidak bisa ditolak hanyalah Al-Qur’an dan Hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. 


Menurut sumber: https://www.gramedia.com/literasi/teori-asal-usul-nenek-moyang-bangsa-indonesia/ ada beberapa teori asal-usul nenek moyang bangsa Indonesia, yaitu Teori Yunan, Teori Nusantara, Teori Out of Africa dan Teori Out of India. Dalam buku ini Ahmad Arif menjelaskan bahwa orang Indonesia adalah bagian dari orang-orang yang keluar dari Afrika atau Out of Africa, dan manusia yang  pertamakali sampai di Nusantara merekalah yang kita sebut orang Papua. Saya ingat pernah menonton video yang dirilis di platform Youtube kanal milik BBC News Indonesia dengan judul “Hasil tes DNA menjawab siapakah orang ‘asli’ Indonesia. Sejalan dengan apa yang dipaparkan Ahmad Arif, Indonesia dengan beragam etnis dibentuk oleh proses migrasi manusia dari beragam asal-usul yang terjadi secara bergelombang di masa lalu membuat orang Indonesia memiliki bauran genetika yang kompleks dari bangsa lain khususnya Arab, India, Tiongkok hingga Eropa. Proses adaptasi dan isolasi terhadap lingkungan yang spesifik menciptakan identitas etnis, walaupun sebagian memiliki irisan. Kita memiliki keragaman etnis yang sangat luas, dan kita disatukan dalam budaya lokal yang khas, aturan, dan kebiasaan lalu kita mengidentifikasi diri sebagai ‘orang Indonesia’. Tidak ada manusia asli Indonesia.

Dalam penjelasan mengenai gelombang migrasi manusia, buku ini menyempurnakan pembahasannya dengan mengkaitkan sejarah geografi. Pada masa silam terjadi perubahan bentang alam yang dahsyat selama ribuan tahun membuat terjadinya isolasi, memunculkan makhluk hasil ‘domestifikasi’, berkembangnya fauna endemik, bahkan membuat manusia menemukan hobi baru untuk mengotak atik genetika. Dengan ini manusia mulai mengambil alih atas tanaman pangannya yang sebelumnya menunggu ketersediaan alam, memulai era baru yang disebut Revolusi Pertanian Pertama. Oh iya tidak perlu pusing, kita telah dibantu dengan dibuatkan sub bab bacaan mengenai periode kehidupan manusia, berurut dari masyarakat berburu meramu, masyarakat peladang, hingga masyarakat petani. 

Keragaman pangan nusantara disemai oleh sejarah panjang migrasi dan pembauran leluhur, serta upaya adaptasi terhadap lingkungan. Namun tak hanya itu, kekayaan sumber daya alam negeri ini memberi warna pada sejarah panjang bangsa ini.  

Bicara pangan, Nusantara telah dikenal dengan kejaiban rempah yang aromanya menggiurkan seisi dunia. Rempah kita lebih berharga dari emas, menjadi magnet bagi kapal-kapal China, India, Timur Tengah untukmelabuhkan kapal mereka ke malaka. Perdagangan ini memunculkan penguasa-penguasa kecil yang membentuk kerajaan. Musi yang gagah pernah dilintasi kapal-kapal raksasa yang datang dari penjuru dunia, di bawah kekuasaan Sriwijaya yang pernah berjaya. Di Maluku, yang menjadi rumah bagi Pala dan Cengkeh berdiri Kesultanan Ternate dan Tidore. Sedangka di Banten, Kerajaan Banten Girang sibuk meluaskan kebun lada untuk memperkuat kekuasaannya. Jejak gudang penyimpanan lada yang dibangun Belanda masih tersisa disana, dan Indonesia masih patut berbangga sebab pamor lada putih terbaik ada di Bangka. Bangka yang begitu spesial, antara timah dan sahangnya.

Bara api cemburu menghasut Eropa menguasai itu semua. Negara-negara Eropa berlomba melakukan ekspedisi pelayaran untuk mencari dimana sumber rempah. Ribuan kapal mereka berlabuh di nusantara, dipelopori oleh Portugis, lalu disusul Spanyol dan Belanda. Nusantara dengan alam yang memanjakannya, ternyata turut memberi sejarah pilu penjajahan. Lamanya era kolonialisasi, turut mengubah jalan pangan, utamanya sejak diberlakukan aturan tanam paksa. Meski begitu, Belanda turut berjasa dalam berkembangnya ilmu pengetahuan di Indonesia. 

Perdagangan rempah jelas menjadi bagian sejarah yang memengaruhi jalan pangan, dengan terjadinya bauran pangan dari bangsa-bangsa asing. Sayangnya Ahmad Arif tidak begitu dalam bicara soal bauran pangan yang dikemudian hari menciptakan kuliner-kuliner baru khas Nusantara, mungkin karena bicara soal masyarakat adat, rempah bukan menjadi komoditi utama mereka. Beberapa literasi menyebutkan pedalaman belantara hutan yang menjadi rumah suku adat menutup akses mereka untuk mengenal dunia luar, yang sedang hiruk pikuk dengan perdagangan rempah, juga menguntungkan mereka dari perbudakan pemerintah kolonial. Meski begitu ketertarikan saya akan bahasan rempah terpantik dari tulisan Ahmad Arif di buku ini.

Buku ini juga mengulas apa saja jenis pangan masa lalu, selain sagu, sorghum, dan beberapa jenis biji-bijian lainnya, meski saya rasa belum semuanya disebut. Alangkah baiknya jika Ahmad Arif memperkaya khazanah kita semua dengan menelurkan buku-buku lain yang berisikan tentang kumpulan sumber pangan asli Indonesia. Meski tulisan tentang dua tanaman pokok tulen milik Indonesia sudah dibukukannya, Sagu Papua untuk Dunia dan Sorgum Benih Leluhur untuk Masa Depan, saya masih  menunggu lahirnya karya-karya lain untuk membangunkan bangsa Indonesia, bahwa: hey! betapa kayanya kita!

Beberapa kisah masyarakat adat yang masih eksis dengan jalan pangannya sendiri sampai sekarang menunjukkan bahwa kita mampu untuk berdikari secara pangan. Di kisah lain, masyarakat adat yang terbuai dengan gengsi makanan ‘superior’ mengajarkan bahwa meninggalkan pangan lokal malah mendatangkan petaka bagi bangsa ini.

Secara umum, saya rasa buku ini cukup mudah dipahami. Gaya penulisan Ahmad Arif sebagai seorang jurnalisme lingkungan terasa khas sekali, menyempurnakan sudut pandangnya dalam penulisan buku ini. Sebagai seorang yang sudah lama berkecimpung sebagai wartawan, sejak 2003, tema yang dibawakan matang, beserta dokumentasi berupa foto ketika penulis melakukan perjalanannya mengunjungi beberapa masyarakat adat. Di buku ini, kita akan menemukan nama-nama naturalis melegenda seperti Alfred Russel Wallace, atau penjelajah Marco polo yang disisipi penulis ketika membahas sejarah nusantara. 


Islam dan Masyarakat Adat

Suku adat pedalaman, beberapa masih memegang kepercayaan animisme, dinamisme, juga mitologi. Terlepas dari bentuk menghormati budaya, ini adalah sesuatu yang berlawanan dengan nurani manusia yaitu keTuhanan Yang Maha Esa yang tertuang dalam Pancasila. Apa itu Esa? Esa adalah tunggal, satu, sendirian, tidak memiliki sekutu, tidak boleh diduakan. Islam sebagai satu-satunya agama yang haq yang turun sebagai rahmat bagi alam semesta melarang kepercayaan animisme, dinamisme, dan mitologi adalah sesuatu yang tidak boleh dibenarkan, wajib diingkari dan ditolak.

Tidak ada dewa penjaga laut, dewi penjaga hutan, tidak ada manusia yang menjelma menjadi benih kehidupan, tidak ada pawang hujan, tidak ada dewa penjaga gunung, tidak ada yang bisa menurunkan hujan selain Allah, tidak ada yang mampu memberi rezeki walau hanya sebutir nasi dan molekul oksigen melainkan hanya Allah, tidak ada yang bisa mengabulkan pinta kita kecuali Allah, tidak ada yang mampu menimpakan musibah melainkan hanya Allah, dan tidak ada yang bisa menghilangkan musibah melainkan hanya Allah. Sebab tidak ada yang bisa memberikan mudharat (bahaya) dan menghilangkannya atau mendatangkan manfaat melainkan semuanya hanya di tangan Allah. Allah lah satu-satunya yang memegang kuasa di alam raya ini, sendirian!. Tidak ada yang perlu ditakuti selain Allah,Yang Mencipta segala sesuatu sendirian.

Jika kita mempersembahkan rasa takut kita, rasa lemah kita, rasa butuh kita kepada selain Allah dengan bentuk memberikan sesajen, atau penyembelihan hewan ketika panen raya untuk diberi kepada dewa penguasa padi (yang sebenarnya tidak ada) misalnya , maka ketahuilah bahwa berarti kita tidak lagi meng Esa kan Allah, sebab kita membagi rasa takut dan harap kita kepada Allah dan kepada selain Allah. Bentuk menduakan Allah ini adalah kesyirikan, yang bisa mengantarkan kita pada murka Allah. Sebab Allah yang Esa itu tidak layak diduakan!. Dan Allah, Yang Maha Penyayang itu amat pedih siksaannya jika kita menyekutukannya dengan yang lain. 


Bab 3 menjadi puncak emosi bagi saya. Entahlah, mungkin karena saya jadi tahu, bahwa masyarakat adat tengah mengalami tekanan hebat ditengah gempuran “modernisasi”. Memang apa pentingnya masyarakat adat bagi kita? Jelas penting! Masyarakat adat berperan penting dalam menjaga keberagaman hayati di bumi kita. Pemerintah perlu banyak dieavulasi dalam hal ini. Beberapa program pemerintah seperti merumahkan kembali masyarakat adat nyatanya menjadi bumerang bagi suku adat. Merumahkan bukanlah membangun rumah tradisional di wilayah mereka, tapi memindahkan mereka ke pinggiran kota yang tidak diimbangi dengan fasilitas yang mutlak dibutuhkan bagi penghuni pinggiran kota. Apakah program merumahkan masyarakat hanyalah demi mengambil alih hutan untuk kepentingan korporat-birokrat korup, penyakit ‘oknum’ yang masih akut. Setelah hutan di Sumatera mulai tandus, saya khawatir suara ekskavator itu akan meredam cicitan burung di hutan-hutam Kalimantan. 

Hutan adat yang menjadi wilayah kekuasaan ulayat suku adat seringkali sulit mendapat pengakuan dari pemerintah. Dengan lemahnya status hukum masyarakat adat di tangan pemerintah membuat hutan milik masyarakat adat rentan dibabat untuk kepuasan koloni penguasa-pengusaha, yang paling sering ya pembangunan kebun sawit. Saya pernah membaca kisah lain tentang keberhasilan masyarakat adat Knasaimos untuk mendapatkan status wilayah adat. Ternyata salah satu kunci keberhasilan mereka adalah pendampingan dari lembaga sosial yang bergerak di bidang lingkungan, seperti Greenpeace

Beruntung masih banyak lembaga pendamping yang berhati tulus mendampingi masyarakat adat di tengah tingginya kebutuhan akan lahan. Tanpa adanya pendampingan, masyarakat adat kurang menyadari betapa berharganya hutan mereka. Buku ini juga mengisahkan, ketika masyarakat adat mengenal dunia luar dan terbuka dari isolasi, masyarakat adat menjadi tergiur menukar kekayaan hutan mereka dengan beras, mi instan, rokok dan produk-produk ‘kota’ lainnya, menuju hancurnya kedaulatan pangan mereka. Masyarakat ada dipaksa mengubah jalan pangannya sendiri.

Dan sebentar lagi, Kalimantan yang menjadi rumah bagi masyarakat adat suku Punan, dengan rimbanya  yang beratap kanopi harus siap menyambut Istana Keluarga pejabat Negara, eh salah! maksudnya Ibu Kota Negara setelah sebelumnya dikorbankan untuk percobaan Food Estate. Kini proyek food estate itu mangkrak, plus lingkungan rusak!

Pada akhirnya saya yakin tujuan Ahmad Arif adalah untuk menyadarkan kita, bahwa di antara semua orang yang ada di dunia, kita adalah bangsa yang paling layak untuk merdeka secara pangan. Bahkan ketika kita dijajah dengan penindasan fisik, pangan kita masih terhormat. Kini setelah mengaku sebagai bangsa yang merdeka, justru kita menjadi bangsa yang terjajah dalam hal pangan. Petani kita merana. Padahal, kata Soekarno, pangan adalah soal hidup dan mati bangsa. Kita perlu bangkit dari keseragaman pangan menuju keberagaman pangan, dari kebergantungan pangan menuju kedaulatan pangan. Kita dibuat kagum dengan sistem pangan modern berorientasi pasar yang menciptakan penyeragaman produksi dan konsumsi, padahal dampaknya mendatangkan penyakit dan merusak sistem ekonomi sosial, menyukseskan mimpi-mimpi besar para pemburu rente. Akhirnya kita menyia-nyiakan sumber pangan lokal yang berlimpah di alam. Padahal masyarakat adat yang menjalankan sistem pangan tradisional yang berorientasi memenuhi kebutuhan sendiri cenderung lebih berdaulat dan lebih sehat, karena pangan mereka segar dan bergizi.    

Ketimpangan masih menjadi tugas besar bangsa ini, ketidaksetaraan dan kesenjangan sosial sudah jadi hal wajar dan tontonan sehari-hari di seluruh penjuru tanah air, khususnya di kota-kota besar. Pemerintah juga seolah-olah tak mau pedulii. Tak mau ambil pusing, pemerintah kecanduan subsidi beras. Tentunya subsidi itu diambil dari uang rakyat bukan uang pemerintah. Ide mereka tak jauh-jauh dari agenda bansosBansos buat saya tidak lebih dari penghinaan atas tak berdayanya masyarakat-di mata penguasa. Padahal rakyat ini penguasa sesungguhnya!

Mari kita hidupkan cita-cita diversifikasi beras yang selalu menjadi asa pegiat pangan kita, melepaskan pola konsumsi masyarakat dari jeratan pangan impor, seperti gandum. Gandum bukanlah makanan orang Indonesia, Buktinya gandum tidak bisa tumbuh di Indonesia. Mirisnya bayi-bayi di posyandu kini diberi makan ‘biskuit’ yang bahan bakunya tentu terigu. Bahkan bayi-bayi itu sudah dicekoki sejak dalam kandungan oleh iklan-iklan palsu dengan menipu ibu mereka. Kenapa pemerintah tak mau menggelonjorkan anggaran untuk pengembangan pangan lokal? Atau paling tidak mendukung dengan sungguh-sungguh adanya penelitian berbasis pangan lokal oleh lembaga pendidikan dan ilmu pengetahuan? Keragaman budidaya tanaman pangan lokal adalah tanda indikator keberhasilan pangan kita. 

Tertanda, saya dan segala jenis makhluk hidup yang ingin tinggal baik-baik saja di negeri Gemah Ripah Loh Jinowi.

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *